Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, putaran hidup selalu ditengarai dengan tanda centang. Konon, itulah saat kita mulai mengepakkan sayap menuju kehidupan nyata. Umumnya tanda centang itu akan terpampang dalam kita mencentang pilihan : (1)pasangan hidup (2)pekerjaan (3)keturunan (4)kekayaan/penghasilan.
Sebagai suatu nilai, tanda centang tersebut tidak lelihatan namun nyata. Tentu saja urutannya bisa dibolak-balik, tergantung dari kemampuan kita mencentangya . Ia pun selalu muncul secara tak terduga dan biasanya dilontarkan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat passive-aggressive. Karena, salah-salah kalau penyampaiannya tidak politically correct, akan menjadikan perkara.
Hari itu seorang penyair muda menulis di buku catatannya suatu baris motivasi : “Sekejam-kejamnya Jakarta, lebih kejam tanda centang”. Ia sedang ngopi di coffee shop di suatu shopping mall yang elite. Secara tak sengaja ia bertemu dengan teman kuliah dulu. Setelah berbasa-basi, beberapa pertanyaan (lebih tepat disebut interogasi) pun muncul – yang kalau disingkat akan berbentuk : “kapan” – untuk menanyakan apakah kita sudah punya pasangan hidup, “di mana” – untuk menanyakan pekerjaan kita, dan “berapa” – untuk menanyakan anak. Yang “kapan” dan “berapa” biasanya dirangkum dalam kalimat “Eh, sekarang sudah berapa?”
Mengenai kekayaan dan penghasilan, biasanya secara sopan tidak pernah dilontarkan. Karena hal itu biasanya akan muncul dari kesimpulan ketika kita melihat suatu gesture dan topic pembicaraan. Misalnya, sambil ngobrol bermain-main dengan gadget mutakhir, atau kunci mobil, atau memberikan kartu nama yang mengkilap.
Disadari atau tidak, tanda centang itu bagaikan hantu raksasa yang selalu memburu eksistensi kita sebagai manusia dalam mencapai standard kebahagiaan dalam hidup. Barangkali karena manusia itu punya kecenderungan untuk suka melihat a picture perfect – suatu gambar yang sempurna. Sementara tanda centang itu, bagaikan fragment-fragment dan pecahan mosaic dalam kita menyusun suatu gambar yang utuh dengan judul kebahagiaan.
Sebagai konsekwensinya, tentu saja kita kemudian berlomba-lomba untuk memburunya. Yang memacu adalah suatu keniscayaan oleh masyarakat terhadap nilai tanda centang tersebut dalam membentuk kebahagiaan dalam hidup. Tidak percaya? Lihatlah, kita akan mempunyai persepsi berbeda terhadap teman kita yang jadi direktur di suatu bank pemerintahan, dengan dua anak, dan istri yang soleh namun juga sibuk berorganisasi – dibanding dengan teman kita yang sampai hari ini masih lontang-lantung.
Tanda centang tersebut biasanya juga bersifat tegas dan jarang mengindahkan faktor “kenapa” dan “mengapa” sebagai padanan terhadap eksistensi “kapan”, “dimana”, “sudah berapa”, dan “berapa” di atas, sehingga konsepnya bisa berimbang.
Khusus mengenai eksistensi tanda centang “dimana” , filosofer modern, Alain de Botton , bertanya balik dalam kuliah The Pleasures and Sorrows of Work. Ia mengusik diri kita lewat pertanyaan terhadap eksistensi pekerjaan: mengapa kita jarang bertanya pada diri kita, bagaimana kok kita bisa dan mau melakukan suatu pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini? Apakah kita melakukannya karena adanya nilai terhadap pekerjaan yang diciptakan (dan ditekankan) oleh masyarakat?Apa arti sebenarnya dari pekerjaan itu bagi kita? Akankah membawa kebahagian atau petaka dalam hidup kita?
Begitulah. Tentu saja perenungan tersebut akan menghabiskan waktu, tak terkecuali bagi penyair muda di atas. Ia berterimakasih ketika akhirnya teman lama yang baru ketemu itu membayar semua makanan dan minuman. Setelah menerima kartu nama, ia bergegas pergi karena gerinda hidup harus tetap dipacu – dengan berbagai alasan yang bisa diterima oleh masyarakat atau tidak.
Writings
The Solemn Solitude
- Ketika Waktu Menunjukkan Pukul Nol Posted on: July 29, 2011
- Engkau Menjadi Semua Hal Yang Kau Benci Posted on: July 21, 2011
- Terali Posted on: July 16, 2011
- Pijar Posted on: July 14, 2011
- In the River of Believe Posted on: July 12, 2011
- Di Tepi Sungai Iman Posted on: July 11, 2011
- Tikus Posted on: June 24, 2011
- Arti Posted on: June 23, 2011
- Musabab Kebodohanmu Posted on: June 22, 2011
- Ladang Yang Terbakar Posted on: May 28, 2011
- Selasih Posted on: May 26, 2011
- Segi Tiga Posted on: May 23, 2011
- Sungai Kedengkian Posted on: May 23, 2011
- Engkau Yang Pergi Posted on: May 3, 2011
- Kita Tunggu Cinta Jatuh di Ujung Dunia Posted on: May 2, 2011
- Sangsi Posted on: April 29, 2011
- La Pluie du Matin Posted on: April 28, 2011
- Tanda Centang Posted on: April 27, 2011
- Bahagia Itu... Posted on: April 25, 2011
- Tugu Posted on: April 22, 2011
- Puan Posted on: April 21, 2011
- Rama Obong Posted on: April 20, 2011
- Lagu Rindu Seorang Petualang Posted on: April 19, 2011
- Di Suatu April Pekan Ketiga Posted on: April 18, 2011
- Di Pantaimu Posted on: April 18, 2011