Bapak dari sangsi adalah conspiracy theory. Suatu teori yang berkembang kemana-mana, disampaikan oleh si dalang dengan yakin dan keniscayaan, persis seperti film-film Oliver Stone. Kebenarannya biasanya dipanjang-pendekkan, dilebih-lebihkan, dibuat-buat biasanya untuk sensasi, dan biasanya diakhiri dengan kesimpulan yang menggantung ngeri mencekam.
Sebagai suatu urban-myth, sebuah conspiracy theory malam itu muncul dari mulut Pak S. Di gardu ronda itu Pak S menuturkan bahwa suatu kekuatan besar sedang menekan perkembangan suatu keyakinan. Saya tidak akan menuliskan apa yang dituturkan Pak S itu di sini, karena hal itu merupakan suatu conspiracy theory sendiri. Namun dilihat dari semua pendengar yang duduk dengan takzim mendengarkan, kelihatan bahwa cerita yang sebenarnya sangat pseudo-intellectual itu terasa banyak benarnya. Apalagi bukti bukti yang dipaparkan oleh Pak S sungguh sangat masuk akal. Tak urung, pembicaraanpun jadi semakin hangat.
Mas Parijan, mahasiswa S3 dari suatu universitas ternama yang ikut duduk di gardu ronda di malam itu, pikirannya jadi terusik dan ikut larut dalam pembicaraan. Dan ketika kokok ayam pertama terdengar di kejauhan, di malam menjelang pagi itu merekapun bubar pulang ke rumah mereka masing-masing sambil membawa oleh-oleh sangsi.
Dan kita tahu, sangsi itu sungguh dahsyat kekuatannya. Apabila manusia terperangkap ke dalam jeratnya, ia akan menempatkan manusia di tubir gelisah, prasangka, dan pikiran yang kritis tapi penuh syak wasangka. Dan sangsi hanya akan terpenuhi dahaganya lewat suatu ujian, bahkan dengan suatu korban lewat proses yang tragis. Kita ingat cerita dulu, waktu Rama menyangsikan Sita.
Sangsi dengan jubah rasial, biasanya tercetus dari ketidak-terimaan kita melihat sesuatu yang tidak lazim, meskipun kadar kebenarannya nyata. Banyak orang sangsi dan bertanya-tanya melihat seorang anak petani miskin dari desa bisa mewujudkan mimpi di tanah seberang. “Kok bisa, ya?” – begitu biasanya permulaannya. Sangsi berkembang gemuk ketika seorang perempuan menduduki jabatan memimpin negara. Sangsi menjalar kemana-mana ketika seorang imigran yang kalau berbicarapun terbata-bata bisa sukses dan mempunyai jaringan teknologi internet international.
Sangsi dengan jubah rasial juga berhadapan dengan Obama. Ia memaksa untuk memberikan informasi tentang tempat lahirnya agar absah sebagai seorang presiden Amerika . Conspiracy theory-nya dimulai dari bisik-bisik dan pertanyaan sederhana, “mana mungkin ia lahir di Amerika. Lihat saja warna kulit, orang-tua dan namanya yang tidak lazim”.
Kita tahu conspiracy theory itu akhirnya mempunyai happy- ending hari ini. Namun persoalannya, sangsi akan berkata lain saat berhadapan dengan Donald Trump, yang selalu tampil dengan ciri-khas jambul pirang betetnya . Memakai kata-kata “berhadapan” pun terasa berlebihan, karena toh sangsi tidak akan berani untuk menapakkan kaki di haribaan kulit putihnya. Sangsi memang sungguh tidak adil.
Writings
The Solemn Solitude
- Ketika Waktu Menunjukkan Pukul Nol Posted on: July 29, 2011
- Engkau Menjadi Semua Hal Yang Kau Benci Posted on: July 21, 2011
- Terali Posted on: July 16, 2011
- Pijar Posted on: July 14, 2011
- In the River of Believe Posted on: July 12, 2011
- Di Tepi Sungai Iman Posted on: July 11, 2011
- Tikus Posted on: June 24, 2011
- Arti Posted on: June 23, 2011
- Musabab Kebodohanmu Posted on: June 22, 2011
- Ladang Yang Terbakar Posted on: May 28, 2011
- Selasih Posted on: May 26, 2011
- Segi Tiga Posted on: May 23, 2011
- Sungai Kedengkian Posted on: May 23, 2011
- Engkau Yang Pergi Posted on: May 3, 2011
- Kita Tunggu Cinta Jatuh di Ujung Dunia Posted on: May 2, 2011
- Sangsi Posted on: April 29, 2011
- La Pluie du Matin Posted on: April 28, 2011
- Tanda Centang Posted on: April 27, 2011
- Bahagia Itu... Posted on: April 25, 2011
- Tugu Posted on: April 22, 2011
- Puan Posted on: April 21, 2011
- Rama Obong Posted on: April 20, 2011
- Lagu Rindu Seorang Petualang Posted on: April 19, 2011
- Di Suatu April Pekan Ketiga Posted on: April 18, 2011
- Di Pantaimu Posted on: April 18, 2011